Waktu kecil, kita diajarin kalau Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Tapi eh, jangan lupa, ada satu babak penting di buku sejarah: Indonesia Dikuasai Jepang (1942). Dan percayalah, masa itu bukan sinetron. Ini lebih kayak film thriller—penuh kejutan, tekanan, dan… propaganda.
Latar Belakang: Jepang Masuk, Belanda Keluar, Rakyat Bingung
Belanda Kalah Sebelum Semangat Rakyat Habis
Sebelum 1942, Hindia Belanda alias Indonesia masih di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Tapi karena Perang Dunia II yang sedang panas-panasnya, Jepang datang dengan strategi blitzkrieg-nya: cepat, mengejutkan, dan bikin lawan kelabakan. Belanda? Langsung menyerah tanpa perlawanan panjang. Gak sempat pamit pula.
“Kekalahan Belanda di Asia bukan semata karena kekuatan Jepang, tapi juga karena lemahnya strategi kolonial Eropa menghadapi perang modern,” kata sejarawan Universitas Indonesia, Dr. Bambang Purwanto.
Jepang: “Kami Datang Sebagai Saudara Asia!”
Waktu pertama datang, Jepang gak langsung ngaku penjajah. Mereka bilang, “Kami saudara tua kalian. Asia untuk Asia!” Wah, rakyat Indonesia sempat terharu loh. Dikirain beneran mau bantu.
Tapi kenyataannya? Saudara tua ini ternyata suka ngatur dan galaknya minta ampun. Kalau mau dibandingkan, Jepang kayak tamu yang numpang nginep di rumah, terus malah ngatur isi lemari, isi dapur, sampai jadwal tidur kita.
Pemerintahan Militer Jepang: Tiga Zona, Satu Komando, Nol Toleransi
Dibagi Tiga Wilayah: Kayak Nasi Padang, Banyak Pilihan Tapi Sama Pedasnya
Jepang membagi Indonesia menjadi tiga wilayah militer:
-
Jawa dan Madura: dikuasai oleh Angkatan Darat ke-16.
-
Sumatra: di bawah Angkatan Darat ke-25.
-
Kalimantan dan Indonesia Timur: dikelola oleh Angkatan Laut.
Walaupun dibagi, nasib rakyatnya sama: susah makan, kerja paksa, dan hidup di bawah sensor ketat. Iklan shampoo pun dicek dulu sama tentara Jepang (oke, ini bercanda—tapi sensor beneran ada).
Semua Harus Tunduk: Dari Bahasa Sampai Lagu
Pemerintahan Jepang melarang semua hal yang berbau Belanda dan Barat. Lagu kebangsaan Belanda? Dilarang. Bahasa Belanda? Dihapus dari sekolah. Diganti dengan bahasa Jepang dan… propaganda.
Bahkan, anak-anak disuruh hormat ke arah Tokyo tiap pagi sambil nyanyi “Kimigayo”—lagu kebangsaan Jepang. Coba bayangkan kamu sekolah sekarang tapi tiap pagi harus menyanyikan lagu negara asing. Rasanya? Ya gitu, deh.
Sistem Propaganda: Bukan Hanya Kabar Burung, Tapi Burungnya Ikut Dibrainwash
Nippon Cahaya Asia: Misi Mulia atau Marketing Murahan?
Jepang gencar banget menyebarkan slogan-slogan kayak “Nippon Cahaya Asia”, “Asia Timur Raya”, dan “Jepang Pemimpin Asia”. Kayaknya mereka buka agensi branding sendiri.
Di radio, koran, sampai sekolah-sekolah, semua media dibanjiri narasi pro-Jepang. Rakyat disuruh percaya kalau Jepang adalah penyelamat dari penjajahan Barat. Padahal, kenyataannya? Rakyat malah makin menderita.
“Propaganda Jepang begitu kuat karena didukung teknologi dan ketakutan. Rakyat tidak punya pilihan selain percaya atau berpura-pura percaya,” ujar Dr. Ong Hok Ham, sejarawan terkenal.
Seni, Budaya, dan Agama Juga Diatur
Semua kesenian dan budaya lokal harus tunduk pada nilai-nilai Jepang. Wayang? Harus bercerita tentang kehebatan Jepang. Ceramah agama? Harus mendoakan Kaisar Jepang.
Ya ampun, bahkan doa pun disponsori waktu itu.
Kerja Paksa: Ketika Jadi Romusha Bukan Pilihan
Romusha: Kerja Rodi Versi Update
Romusha adalah sebutan untuk rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja membangun infrastruktur militer Jepang. Dari jembatan, jalan raya, rel kereta, sampai lapangan terbang.
Tapi jangan bayangkan mereka dibayar UMR, ya. Makan seadanya, tidur beralas tanah, dan penyakit merajalela. Banyak yang gak pulang. Gak ada WhatsApp buat bilang “aku selamat.”
“Romusha merupakan eksploitasi tenaga rakyat secara brutal. Ini adalah bentuk kolonialisme yang paling kejam dalam sejarah Asia,” kata Prof. Takashi Shiraishi, pakar sejarah Jepang.
Wanita dan Anak Juga Jadi Korban
Bukan cuma pria. Perempuan dipaksa jadi “jugun ianfu” alias wanita penghibur. Ini fakta kelam yang dulu tabu untuk dibicarakan, tapi penting untuk dikenang.
Anak-anak pun dilatih militer di PETA dan Heiho. Bayangkan anak SMA zaman sekarang, alih-alih main TikTok, disuruh angkat senapan!
Perlawanan Rakyat: Karena Diam Bukan Pilihan
Dari Sabotase Sampai Perang Terbuka
Meskipun Jepang kejam, rakyat Indonesia gak tinggal diam. Banyak aksi sabotase kecil-kecilan dilakukan. Kayak ngumpetin makanan, ngerusak radio propaganda, atau nyebar selebaran rahasia.
Beberapa tokoh juga memimpin perlawanan terbuka, seperti:
-
Kyai Haji Zainal Mustafa di Tasikmalaya.
-
Sutan Syahrir yang bergerak diam-diam di bawah tanah (bukan literally, ya).
-
Pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin Sudirman, calon jenderal masa depan kita.
Diam-Diam Tapi Berdampak
Meskipun banyak yang gagal, perlawanan ini menunjukkan semangat rakyat Indonesia tidak pernah padam. Malah, dari sinilah bibit kemerdekaan makin tumbuh subur.
Sisi Positif (Sedikit Banget Tapi Ada)
Bahasa Indonesia Makin Populer
Karena Belanda dan bahasa Belanda dihapus, rakyat jadi makin terbiasa pakai bahasa Indonesia. Secara gak langsung, ini mempercepat penyebaran bahasa nasional kita.
Pelatihan Militer Jadi Modal Kemerdekaan
Organisasi seperti PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho memang dibentuk Jepang untuk kepentingan mereka. Tapi, banyak anggotanya kemudian berperan penting saat Indonesia merdeka.
Coba tanya sejarah TNI. Banyak jenderal kita jebolan PETA, lho!
Indonesia Dikuasai Jepang (1942): Jalan Menuju Kemerdekaan
Perubahan Arah Jepang: Janji Manis Kemerdekaan
Menjelang akhir perang, Jepang mulai sadar kekuasaannya melemah. Mereka mulai janji-janji manis ke Indonesia. Salah satunya? Janji bakal kasih kemerdekaan!
Dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tahun 1945. Lalu disusul PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dua lembaga ini diisi oleh tokoh-tokoh nasional macam Soekarno, Hatta, dan lainnya.
“Jepang berjanji memberi kemerdekaan karena mereka terdesak. Tapi dari sana, justru lahir semangat untuk benar-benar merdeka,” jelas Prof. Ichlasul Amal, pakar politik UGM.
Bom Hiroshima-Nagasaki: Jepang Kalah, Indonesia Siap Merdeka
Agustus 1945, Jepang dibom atom dua kali oleh Sekutu. Mereka menyerah. Nah, di saat itulah Indonesia melihat celah. Soekarno dan Hatta langsung tancap gas memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Tanpa Jepang kalah? Mungkin kita gak akan punya tanggal merah di pertengahan Agustus!
Pelajaran dari Pendudukan Jepang
Jangan Percaya Propaganda Mentah-Mentah
Pelajaran penting banget, nih. Dulu rakyat percaya Jepang datang sebagai penyelamat. Ternyata penjajah juga. Sekarang pun, kita harus bijak memilah informasi. Jangan asal share di grup keluarga, ya!
Kemerdekaan Itu Diperjuangkan, Bukan Diberi
Meski Jepang sempat menjanjikan kemerdekaan, yang bikin Indonesia merdeka adalah rakyatnya sendiri. Kita belajar bahwa kemerdekaan datang bukan karena janji, tapi karena perjuangan.
Semangat Gotong Royong Harus Dijaga
Selama masa Jepang, rakyat saling bantu satu sama lain untuk bertahan hidup. Nilai ini masih relevan banget hari ini, apalagi di zaman yang kadang lebih peduli likes daripada tetangga.
Penutup: Dari Kegelapan Menuju Kemerdekaan
Indonesia Dikuasai Jepang (1942) memang jadi babak kelam. Tapi justru dari situ, bangsa ini belajar arti kebebasan yang sejati. Belajar bahwa persatuan, perjuangan, dan semangat pantang menyerah adalah senjata paling ampuh.
Jadi, lain kali kamu dengar kata “Romusha”, “PETA”, atau “Asia Timur Raya”, ingatlah: di balik istilah itu ada kisah pahit, darah, dan harapan. Tapi juga ada kekuatan luar biasa yang membentuk bangsa kita hari ini.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.”
— Ir. Soekarno